nav-left cat-right
cat-right

KESESUAIAN INTELIGENSI DENGAN PERKEMBANGAN MORAL REASONING REMAJA (Studi Korelasi Terhadap Para Remaja di SMU Negeri IV Medan) Abdul Murad Dosen Kopertis Wilayah I dpk FKIP UISU

KESESUAIAN INTELIGENSI DENGAN PERKEMBANGAN MORAL REASONING REMAJA

(Studi Korelasi Terhadap Para Remaja di SMU Negeri IV Medan)

Abdul Murad

Dosen Kopertis Wilayah I dpk FKIP UISU

 

Abstrak

            Penelitian ini mengenai kesesuaian (hubungan) inteligensi dengan perkembangan moral reasoning (penalaran moral) remaja di SMU Negeri IV Medan, kelas tiga. Penelitian bersifat expost facto, menggunakan instrumen Standard  Progressive Matrices untuk variabel inteligensi dan Defining Issues Test untuk variable moral reasoning. Populasi terdiri dari Sembilan kelas, kemudian dengan teknik random diambil sampel lima kelas. Setelah dilakukan seleksi kriteria sampel diperoleh 74 orang siswa sebagai sampel penelitian. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Product Moment Pearson.

            Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara inteligensi dengan perkembangan moral reasoning. Secara lebih rinci diketahui bahwa sebesar 5,63% moral reasoning siswa berada pada tahap pra-konvensional, 35,20% berada pada tahap konvensional, 25,48% berada tahap post-konvensional, dan sebesar 32,39% sedang berkembang. Disarankan agar stimulasi pengembangan moral reasoning terhadap siswa ditingkatkan.

            Kata kunci : inteligensi, moral reasoning, dan hubungan (kesesuaian).     

 

Pendahuluan

Inteligensi merupakan faktor internal yang bersifat potensial, yang keberadaannya pada individu lebih ditentukan oleh faktor keturunan daripada faktor lingkungan, lingkungan hanya berperan sebagai stimulator untuk mewujudkan potensi inteligensi yang telah ada. Namun demikian, lingkungan memegang peran penting, karena tanpa lingkungan potensi inteligensi hanya merupakan sesuatu yang laten tersimpan.

Dalam kaitannya dengan pemikiran moral (moral reasoning), inteligensi merupakan persyaratan dasar bagi berlangsungnya perkembangan moral reasoning. Hal ini berarti bahwa dalam mempelajari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan moral reasoning, maka inteligensi dilibatkan sebagai faktor utama. Sesuai dengan peran inteligensi ini, maka moral reasoning hanya akan dapat berkembang mencapai tahapan tertentu bila didukung oleh inteligensi pada taraf tertentu pula. Namun, inteligensi tinggi tidak selalu konsisten dengan perkembangan moral reasoning, karena perkembangan moral reasoning membutuhkan stimulasi-stimulasi yang kaya dari lingkungan, orang tua, sekolah, dan lingkungan lainnya. Dengan berbagai kesibukan orang tua, serta pandangan dan gaya hidup masyarakat yang semakin individual, kerapkali stimulasi yang diberikan kepada individu miskin sehingga diprediksikan perkembangan moral reasoning-nya lebih rendah dari potensi inteligensi yang dimilikinya. Keadaan dimana moral reasoning individu rendah, maka keputusan-keputusan etika/moral (berkenaan dengan benar salah) akan bersifat egosentris, kekanak-kanakan, dan egois. Sebaliknya bila moral reasoning individu mencapai tahap tinggi, di dalam keputusan-keputusannya ia akan mengaktifkan acuan struktur moral reasoning yang matang, melibatkan kepentingan berbagai pihak dan menerapkan nilai-nilai yang lebih universal seperti hak dan tanggung jawab, kebebasan. Dengan moral reasoning yang matang ini, individu akan terhindar dari akibat moral reasoning yang rendah, yang merugikan diri sendiri dan lingkungannya.

Atas dasar peran moral reasoning sebagai salah satu pengontrol pengambilan keputusan moral serta dampak buruk yang dapat ditimbulkan bila individu memiliki moral reasoning yang rendah, maka penting dikaji tentang sejauhmana perkembangan moral reasoning dilihat dari potensi inteligensinya.

Rangkuman Tinjauan Teoretik

Konsepsi Inteligensi

Piaget mengemukakan beberapa definisi inteligensi, yaitu, “… intelligence is a particular instance of  biological adaptation…”, “… is the form of equilibrium towards which the successive adaptation and exchanges between the organism and his environment are directed …”, “a system of living and acting operatrions …” (Ginsburg & Opper, 1979). Definisi yang pertama mengemukakan bahwa inteligensi merupakan suatu kemampuan adaptasi biologis manusia. Sistem adaptasi ini berfungsi untuk dapat berinteraksi secara efektif dengan lingkungan pada suatu tingkat psikologis. Definisi kedua menunjukkan bahwa inteligensi merupakan bentuk keseimbangan dalam proses adaptasi dan perubahan organisma menghadapi lingkungannya. Keseimbangan merupakan suatu penyesuaian yang harmonis, paling sedikit pada dua faktor, yaitu antara individu atau struktur kognitif dengan lingkungannya. Definisi ketiga menunjukkan suatu sistem pikiran dan bertindak yang dilatarbelakangi oleh aktivitas mental yang terstruktur. Dari ketiga definisi Piaget di atas dapat dilihat bahwa pada akhirnya Piaget melibatkan aspek kemampuan intelektual secara kuat.

Moral Reasoning : Konsepsi, Tahap, dan Perkembangannya pada Remaja Konsepsi.

            Di dalam literatur  yang berbeda istilah moral reasoning, moral thinking,dan moral judgment dimaksudkan sama. Sudarsono pada kamus Filsafat dan Psikologi (1993) mengemukakan bahwa moral “… berhubungan dengan norma-norma perilaku yang baik/benardan salah menurut keyakinan-keyakinan etis pribadi atau kaidah-kaidah sosial, ajaran mengenai perbuatan dan kelakuan”. Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi (1997) mengemukakan bahwa moral “… 1) menyinggung akhlak, moral, tingkah laku yang susila. 2) ciri-ciri khas seseorang atau sekelompok orang dengan perilaku pantas atau baik …” Dari pengertian moral ini dapat dilihat bahwa moral diartikan sebagai suatu isi tingkah laku yang sesuai atau tidak sesuaidengan kaidah pribadi dan sosial. Istilah reasoning mengandung kegiatan pokok, yakni menalar (berpikir). Jika pengertian moral dan reasoning dipadukan maka Moral Reasoning berarti penalaran/pemikiran /pertimbangan tentang moral.

Kohlberg (dalam Lickona,1976) menjelaskan bahwa konsep moralitas lebih merupakan sebuah filosofis(ethical) daripada sebagai konsep perilaku. Menurutnya, hal yang paling esensial dari struktur moralitas adalah prinsip keadilan dan inti dari keadilan adalah “distribusi hak dan kewajiban”yang diatur oleh konsep-konsep persamaan hak dan hubungan timbal balik. Dengan tegas Kohlberg mengatakan bahwa keadilan bukan aturan konkret melainkan prinsip. Kohlberg 1970, in Lickona, 1976 mengatakan:

“… By a moral principle we mean a mode of choosing which is universal, a rule of choosing which we want all people to adopt always in all situations … There are excetions to rules, then, but no exception to principles. A moral obligation is an obligation to respect the right or claim of another person. A moral principled is a principle you versus me, you versus a third person. There is only one principled basis for resolving claims :jutice or equality”.

Jelaslah bahwa keadilan sebagai unsur esensial moralitas bukan aturan atau seperangkat aturan, melainkan suatu model memilih yang bersifat universal, yakni aturan memilih yang diinginkan semua orang dan situasi. Kohlberg (dalam Lickona, 1976) menandaskan bahwa “A moral principled is not only a rule of action but a reason for action. As a reason for action, jutice is called respects for persons…”.

Dapat disimpulkan bahwa moral reasoning adalah suatu filosofis, bukan tindakan atau perilaku. Moral Reasoning adalah penalaran/pemikiran /pertimbangan moral yang digunakan oleh seseorang di dalam mengambil keputusan-keputusan moral, yang terfokus pada struktur (bukan isi) moral.

Tahapan Moral Reasoning

Di dalam teori perkembangan moral kognitif, pengertian tahap mengandung arti tertentu. Kohlberg (1969) mengemukakan sifat-sifat tahapan yang diringkasnya dari tulisan Piaget, yaitu :

First, the stage notion implies that within each child we will be able to observe distinct qualitative differereces in the way the child solves the same problem at different stages of development … Second, the stages of development that the child passes through follow an invariant sequemce … Third, each state represents a structured whole … The child’s response reflects the way the child organizes thoughts-the structure of his or her reasoning. Fourth, the stages are hierarchical integrations” (Arbuthnot & Faust,1981)

Keempat hal utama ini dapat dijelaskan bahwa pertama, dapat dibedakan secara kualitatif cara-cara individu yang berbeda tahap dalam memecahkan maslah yang sama. Perbedaan ini meliputi perbedaan kuantitatif dan kualitatif. Individu yang memiliki tahap lebih tinggi, secara kuantitatif menggunakan lebih banyak. Bila diilusitrasikan pada dua jenis bangunan bahwa bangunan pencakarlangit menggunakan lebih banyak balok daripada bangunan gubuk. Secara kualitatif, individu yang mempunyai tahapan lebih tinggi akan menggunakan pemikiran yang lebih logis, matang dan canggih. Dengan demikian, tahapan yang lebih tinggi bukan sekedar penambahan dari tahapan yang lebih rendah. Kedua, perkembangan tahapan dilalui oleh setiap orang dengan urutan tanpa kecuali (yakni tetap), dimulai dari tahap yang lebih rendah menuju tahap yang lebih tinggi secara berurut. Hal yang berbeda adalah percepatan perkembangannya. Ketiga, respon individu pada tahapannya menggambarkan suatu keseluruhan yang terstruktur. Respon ini merefleksikan bagaimana ia mengorganisasikan struktur pikirannya, bukan merupakan hasil keakraban individu terhadap tugas yang dihadapi. Keempat, tahap-tahap merupakan suatu integrasi hierarkhis. Ini berarti bahwa bagian-bagian yang ada dalam sistem tersusun dan mampu bergabung dalam cara-cara yang baru. Tahap yang lebih tinggi lebih terdiferensiasi, yakni sistem berpikir lebih banyak bagian-bagiannya, lebih kompleks dan lebih khusus kemampuan-kemampuannya. Analogi differensiasi dan integrasi dari dunia biologi memperjelas konsep ini. Sistem nervous organisma yang lebih rendah seperti amuba adalah lebih sederhana sehingga ia hanya memiliki sedikit fungsi. Sedangkan manusia sebagai organisma tinggi, lebih kompleks dan lebih terdifferensiasi serta mempunyai lebih banyak bagian-bagian khusus yang membentuk fungsi-fungsi unik. Sistem nervous manusia lebih terintegrasi.

Kohlberg mengemukakan dari hasil studinya bahwa ada tiga tingkat moral reasoning, dan masing-masing tingkat terdiri atas dua tahap sehingga keseluruhan ada enam tahap moral reasoning.

(1) Tingkat pre-conventional:

            Tahap 1 : Moralitas heteronomous

Orientasi moral tertuju pada hukuman fisik dan kepatuhan. Pada tahap ini anak lebih dipengaruhi oleh akibat fisik dari pada akibat psikologis atas tindakan yang diterimanya dari orang lain. Kepatuhan dinilai untuk kepentingan dirinya sendiri. Pikiran sangat egosentrik, yakni anak tidak dapat menimbang perspektif individu lain, dan tidak mengakui bahwa pandangan dan minat orang lain berbeda dari pandangan dan minatnya sendiri.

Hukuman merupakan hukum keadilan yang berlaku seperti “mata diganti/untuk mata, dan juga untuk gigi”. Tahap ini tidak menilai aturan-aturan sebagai pemahaman atas hal yang diinginkan dari suatu perilaku, tetapi hanya sebagai signal pada anak sebagai jenis perilaku yang akan menyakitkan atau menyenangkan. Aturan-aturan tentang perilaku benar-salah tidak dipandang berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam sehari-hari konsepsi tentang masyarakat tidak ada, ia hanya mengidentifikasi kelompok sosial terbatas hanya pada keluarga. Hal ini tidak berarti bahwa anak-anak dengan tahap moral judgment tahap satu kurang mempunyai kesadaran sosial. Tingkatan kesadaran sosial dibatasi oleh penerimaan kepada orang lain sebagai sumber-sumber hukuman atau ganjaran, dalam arti bahwa orang-orang dewasa adalah lebih besar, lebih kuat, lebih tahu, dan dapat mengontrol opini-opini perilaku anak.

Ciri konsepsi berpikir moral tahap satu berdasarkan pada tekanan-tekanan eksternal dan tanpa suatu pemahaman tentang keadilan atau kejujuran. Kebenaran pada tahap satu dikonsepsi dengan membuat kesamaan dengan pemilik otoritas dan menjauhi hukuman.

Tahap 2 : Individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran

Tahap ini berkenaan dengan tahap menggunakan kenikmatan. Anak mengartikan kebaikan sebagai hal-hal yang menghasilkan kesenangan, pelayanan-pelayanan, kekuasaan, dan lain-lain. Untuk diri sendiri, yang dianggap benar adalah yang melayani kebutuhan dan keinginan diri sendiri atau orang lain. Dalam hal ini berlaku moral jual beli. Sesuatu yang dianggap benar bila kedua belah pihak melakukan atau memperoleh hal yang sama.

Ada beberapa perbedaan tahap dua dari tahap satu. Pertama, anak mulai dapat membedakan kebutuhan dan keinginan orang lain yang berbeda dari kebutuhan dan keinginan dirinya. Kedua, moralitas anak mulai tumbuh secara internal, sedangkan pada tahap satu moralitas dipelajari dari standar-standar moral orang lain. Pada tahap dua seseorang mulai menilai kebenaran berdasar pada nilai-nilai yang terkandung dari suatu tindakan yang memuaskan dirinya sendiri. Artinya bahwa pada tahap ini individu dapat menerima bahwa orang lain mempunyai kebutuhan-kebutuhannya sendiri dan berpikir bahwa ada pertukaran kepentingan diri sendiri dengan orang lain. Hubungan timbal balik sangat pragmatis,misalnya anak berpikir bahwa “engkau menggaruk punggungku, aku menggaruk punggungmu”. Ketiga, pada tahap dua ini masih ada ciri-ciri egoisme. Perilaku dianggap baik hanya jika mempunyai konsekuensi positif terhadap tokoh (anak yang bersangkutan). Kebenaran didefinisikan sebagai nilai instrumental yang memberi kesenangan pada diri sendiri dan orang lain, bukan berdasarkan kepada pemahamann akan tanggung jawab atau penghargaan yang timbal balik. Keempat, pemikir pada tahap dua lebih sensitif pada ukuran kebenaran orang lain yang didasarkan kepada perspektif sosial yang lebih (dari tahap satu) dan lebih terfokus pada maksud-maksud tokoh.

(2) Tingkat Conventional

Tahap 3 : Harapan-harapan interpersonal bersama, hubungan-hubungan dan konformitas interpersonal.

Moralitas tahap ini mengacu kepada hubungan interpersonal untuk memperoleh sebutan sebagai anak baik (good boy-nice girl). Individu berusaha memenuhi harapan orang lain dengan melakukan sesuatu agar disebut orang yang baik atau disetujui orang lain, sesuai dengan tuntutan-tuntutan peran, dan loyal kepada kelompok dimana ia menjadi bagiannya. Individu mengagungkan etika aturan tetapi belum mempunyai kesadaran sistem sosial umum. Perspektif sosialnya menunjukkan suatu kesadaran pada persetujuan-persetujuan dan harpan-harapan bersama, dari perspektif-perspektif dan perasaan-perasaan seseorang atau orang lain, dan lebih mementingkan kepentingan kelompok sosial dibandingkan kepentingan sendiri.

Motivasi moral memelihara hubungan interpersonal di antara anggota kelompok. Menurut  Selman (1971)(dalam Arbuthnot & Faust,1981), pemikiran bahwa tindakan menyimpang terhadap suatu hubungan interpersonal yang baik dapat dimaafkan. Seperti dalam kasus tindakan mencuri, merampok, dapat dimaafkan apabila tindakan tersebut dilakukan untuk menolong nyawa orang yang sangat dicintai yang berada dalam keadaan kritis. Hal ini menunjukkkan adanya kemampuan ahli peran. Selman (1971) mengatakan “… when this ability is acquired (role taking-penulis), the individual is capable of stage 3 thought …”(dalam Arbuthnot & Faust,1981). Pemikir tahap tiga menilai tindakan apakah sebagai suatu moral yang buruk dari persetujuan orang lain. Untuk ini seseorang harus mempunyai kemampuan mengantisipasi hal-hal yang disetujui atau tidak disetujui orang lain dan hal-hal yang dapat menimbulkan kemurkaan. Sifat-sifat egois ditransformasi kepada pemerolehan persetujuan, walaupun sifat-sifat egois tersebut belum hilang sama sekali.

Tahap 4 : Sistem sosial dan hati nurani

Orientasi moral pada tahap ini tertuju pada pemeliharaan aturan atau keteraturan dan hukum. Kebenaran didefinisikan sebagai orang yang menegakkan tugas-tugas di dalam masyarakat dan mencapai keteraturan sosial, serta memelihara kelompok sosial sebagai suatu keseluruhan, atau sebagai suatu cara, bukan kata hati (conscience). Pada tahap ini, individu membangun komitmen dan tanggung jawab memelihara keteraturan sosial dan menghargai diri sendiri. Menurut pemikir tahap ini, kepemilikkan harus mendapat legitimasi dan secara sosial harus disetujui.

Individu-individu tahap empat menekankan pentingnya aturan-aturan diikuti dan mengekspresikan kemarahan bila seseorang menggangu hak-hak atau hak milik. Menurut individu, tanpa suatu standar hukum maka perilaku manusia akan kacau dan chaos.Seluruh anggota masyarakat harus tetap dengan aturan-aturan dan hukum-hukum. Menurut mereka, loyalitas dan hubungan personal seperti pada tahap tiga tidak cukup memelihara kejujuran dan keteraturan. Pemikir mengambil pandangan yang lebih abstrak tentang hukum dan mencari jaminan tentang interaksi-interaksi kesentosaan, ketenangan, dan hak-hak orang. Mereka lebih keras menegakkan hukum dalam usaha memelihara aturan dengan tidak melakukan tindakan pilih kasih, loyalitas pada hukum, bukan pada orang.

Tahap empat berorientasi pada penerimaan pandangan yang legal tentang apa yang benar/baik. Jika individu tahap empat berkembang terus (yang disebut Kholberg sebagai tahap 4B), maka mereka mengakui bahwa hukum muncul dari orang yang selalu memiliki kepentingan dalam hukum. Mereka ini mempertanyakan hukum yang mana menjadi pembimbing perilaku? Siapa pemilik otoritas dan siapa yang harus ditentukan? Pemikir tahap 4B, mengajukan pertanyaan-pertanyaan di belakang formasi hukum yang membimbing kita.

(3) Tingkat postconventional:

      Tahap 5 : Kontrak sosial, atau kegunaan dan hak-hak individu

            Apa yang dianggap benar adalah menegakkan hak-hak, nilai-nilai dasar, dan persetujuan secara timbal balik atas kerjasama masyarakat. Meski menimbulkan konflik dengan hukum-hukum dan aturan-aturan tertentu dari kelompok sosial. Individu mengakui bahwa hukum-hukum atau aturan-aturan, nilai-nilai dan kebenaran-kebenaran adalah relatif. Aturan-aturan relatif terdapat dalam konteks kelompok dan harus ditegakkan karena mereka dasar dari suatu kontrak sosial (yang harus dipelihara dari suatu prinsip). Pada waktu yang sama, nilai-nilai atau kebenaran-kebenaran tidak relatif (absolut) seperti hak-hak untuk hidup dan kemerdekaan, harus ditegakkan tanpa memperhatikan pendapat atau keinginan masyarakat. Pemikir tahap ini menempatkan nilai tinggi pada saling percaya dan menghargai/menghormati, karena hal ini melindungi hak diri sendiri dan orang lain. Tahap ini juga dicirikan oleh suatu ide kegunaan yang rasional (berbeda dari sifat kegunaan egoistik pada tahap dua) atau keyakinan bahwa hukum-hukum dan definisi tugas harus didasarkan pada pelayanan yang paling baik untuk yang terbaik dari sejumlah orang. Pada tahap ini individu berorientasi pada upaya memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan menghargai kecenderungan mayoritas, pada saat melindungi hak-hak minoritas. Ini tidak muncul dari suatu rasa hormat kepada kekuasaan atau otoritas dari kelompok lebih besar, tetapi muncul dari kebutuhan menerima tanggung jawab sosial sehubungan dengan dapat mengharapkan orang lain membuat hal yang sama.

Moralitas bergerak dari pikiran konvensional menuju pikiran yang prinsip. Ini berarti apa yang benar tidak diartikan sebagai apa yang konvensional atau yang diakui oleh sentimen publik, melainkan pada universal manusia yang istimewa yang inherent dalam menjadi seorang manusia dan bebas dari status seseorang di masyarakat. Keadilan terletak pada kesamaan dan pertimbangan jujur seseorang yang tidak mementingkan ciri personalnya seperti ras, agama, status sosial, in-group, out-group.

Tahap 6 : Prisip-prinsip etik yang universal.

Secara esensial, tahap ini menghadirkan pemerolehan pendirian etik dari pertimbangan-pertimbangan filosofis teknis. Hukum-hukum/aturan-aturan konvensional yang didasarkan atas prinsip demikian harus diikuti. Prinsip-prinsip yang diterima seseorang pada tahap ini tidak diterima secara sederhana karena persetujuan sosial mereka; melainkan lebih pada prinsip-prinsip mereka ke masyarakat dan diperoleh pemahaman-pemahaman dasar dari keadilan : kesamaan dari hak-hak manusia dan penggambaran sikap menghargai untuk martabat individual setiap orang. Pemikir tahap ini tidak pernah memaafkan penggunaan human being sebagai sesuatu akhir ketidakadilan; melainkan hidup mesti dihargai sebagai akhir di dalam dan dari keadilan. Pada pemikir  tahap enam faktor kritis di dalam memutuskan apa adanya secara moral lebih panjang. Tentang ini, konsepsi pada tahap lima adalah berkaitan dengan kegunaan sosial-kebaikan paling besar untuk jumlah yang paling besar. Tetapi pada pemikir tahap enam mengandung pertimbangan dari sebuah prinsip moral yang komprehensif, logis, konsisten dan universal. Dalam pandangan pemikir tahap enam tidak ada aturan-aturan konkret untuk perilaku. Ini merupakan pertimbangan otonom, individu harus menentukan apakah suatu tindakan sebagai rangkaian pilihan sendiri yang universal dan dapat diterapkan berdasarkan keyakinan yang menujukkan keadilan.

Perkembangan Moral Reasoning Remaja

            Haditono (1984) berpendapat sama dengan Kohlberg bahwa remaja seyogianya mencapai tingkat perkembangan moral tingkat pasca konvensional. Haditono (1984) mendasarkan pencapaian moral judgment remaja pada karakteristik remaja yang masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi, walaupun penilaian-penilaian moral mereka belum berasal dari kata hati. Dengan karakteristik mereka ini, remaja seharusnya mencapai perkembangan moral tahap lima. Mengenai pendapat Kohlberg, ia mengemukakan dengan tegas bahwa “… moralitas pasca konvensional harus dicapai selama masa remaja…”(Hurlock, 1980). Berbeda dari pendapat Kohlberg dan Haditono, Watson (1973) berpendapat bahwa moral judgment remaja pada umunya berada pada tahap tiga dan empat (tingkat konvensional).

Relasi Intelegensi dengan Moral Reasoning

Haditono (1984) mengemukakan bahwa “… perkembangan kognitif dianggap sebagai salah satu persyaratan yang logis bagi perkembangan kognisi sosial, sedangkan perkembangan kognisi sosial dianggap sebagai salah satu syarat mutlak bagi perkembangan pengertian norma”. Relasional antara kemampuan berpikir (kognisi), kemampuan berpikir sosial (kognisi sosial), dan kemampuan moral reasoning (pengertian norma) tersebut dikemukakan dalam bentuk tabel relasi berikut.

Relasi antara Kemampuan Berpikir (Kognisi), Kemanpuan Berpikir sosial (Kognisi sosial), dan Moral Reasoning


 

Stadium perkembangan kognisi (Piaget)Tingkat pengambilan peran, perkembangan kognisi social (Selman & Byrne)Stadium penilaian moral (Kohlberg)
Berpikir pra-operasional

 

 

 

 

Berpikir operasional konkret

 

 

Permulaan berpikir operasional formal

 

 

Menguasai sepenuhnya operasi-operasi formal

Tingkat egosentrik

(sekitar 4 tahun)

Tingkat subyektif

(sekitar 6 tahun)

 

 

 

 

Tingkat refleksi diri

(sekitar 8 tahun)

Tingkat koordinasi

perspektif (sekitar 10 tahun)

I. Stadium pra-konvensional

1. Orientasi menurut dan takut hukuman

2. Orientasi hedonistik- instrumental

II. Stadium konvensional

3. Orientasi saling pengharapan interpersonal

4. Orientasi pelestarian system sosial

III.Penilaian post-conventional atau penilaian moral yang prinsip

5. Orientasi kontrak sosial

6. Orientasi pada dasar-dasar moral universal

(Haditono, 1984)

 

 

Tabel di atas memperlihatkan bahwa stadium kognisi pra-operasional dan tingkat kognisi sosial egosentrik dan subyektif mendasari perkembangan moral reasoning stadium pra-konvensional. Stadium berpikir operasional konkret dan tingkat berpikir sosial refleksi diri mendasari perkembangan moral reasoning stadium conventional. Stadium berpikir operasional formal dan tingkat berpikir sosial koordinasi perspektif mendasari perkembangan moral reasoning stadium post-conventional. Pada stadium post-conventional ini, moral reasoning individu akan terus berkembang mencapai tahap tertinggi sesuai dengan potensinya.

Mengenai hubungan antara inteligensi dengan moral judgment, dari hasil studi-studi yang dilakukan oleh Arbuthnot, 1973, Faust dan Arbuthnot, 1978, Holstein, 1976, Kohlberg, 1964, 1969, Taylor dan Achenbach, 1975, menemukan korelasi 0,30 sampai dengan 0,55 (Arbuthnot & Faust, 1981). Korelasi-korelasi tersebut menunjukkan bahwa bila skor inteligensi meningkat, maka skor moral reasoning cenderung meningkat pula. Penelitian-penelitian tentang inteligensi dan moral reasoning masih sulit ditemukan, kemungkinan karena penelitian-penelitian seperti ini masih jarang dilakukan.

A. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian expost facto, yakni meneliti keadaan yang berlangsung. Penelitian terdiri atas variabel bebas inteligensi dan variabel tergantung moral reasoning. Populasi penelitian adalah siswa SMU Negeri IV Medan, kelas 3 IPA dan IPS. Populasi terdiri dari 6 kelas IPA dan 3 kelas IPS. Dari populasi diambil sampel secara random sebanyak 3 kelas IPA dan 2 kelas IPS. Terhadap 5 kelas sampel ini dilakukan tes inteligensi untuk memperoleh persyaratan sampel, yakni yang mempunyai taraf inteligensi rata-rata ke atas, sehingga diperoleh 71 orang siswa/sampel (n = 30%).

Data inteligensi dikumpulkan dengan menggunakan instrumen Standart Progressive Matrices dan data Moral Reasoning dikumpulkan dengan instrumen DIT (Defining Issues Test) yang telah terstandar. Untuk mengetahui kesesuaian inteligensi dengan perkembangan moral reasoning dilakukan uji statistik korelasi Product Moment Pearson yang dikemukakan oleh Sudjana (1996).

B. Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian dikemukakan sebagai berikut :

∑x

∑y

∑x²

∑y²

∑xy

R

3403

1215

163305

23353

58804

0,7945

 

Dengan r = 0,7945, berarti terdapat hubungan yang tergolong kuat antara inteligensi dengan moral reasoning. Dengan demikian hubungan positif antara inteligensi dengan moral reasoning siswa-siswa kelas 3 di SMU Negeri IV Medan dapat diterangkan sebesar 75%. Semakin tinggi inteligensi , maka semakin tinggi moral reasoning.

Bila dilihat pencapaian tahap moral reasoning, adalah sebagai berikut :

Tahap

Persentase

2

5,63

3

11,26

4

23,94

5A

11,26

5B

14,08

6

0,14

Sedang berkembang

32,39

(Tingkat Moral menurut Kohlberg)

Dapat dilihat bahwa masih ada siswa yang berada pada tingkat pra-konvensional tahap 2 (5,63%); 35,20% berada pada tingkat konvensional tahap 3, 4; 25,48% berada pada tingkat post-konvensional tahap 5, 6 dan sebesar 32,39% sedang berkembang.

Temuan penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara inteligensi dengan perkembangan moral reasoning, memperlihatkan bahwa temuan penelitian sesuai dengan konsep teori, yaitu inteligensi merupakan persyaratan dasar bagi pencapaian tahap moral reasoning tertentu. Dengan nilai korelasi ini berarti bahwa perkembangan moral reasoning remaja siswa SMU Negeri IV Medan berkaitan erat dengan inteligensinya. Keeratannya sebesar 0,7945 ini dapat diperjelas dengan melihat pencapaian tahapan moral reasoning mereka, ternyata pencapaiannya masih belum memenuhi harapan ideal. Seyogianya dengan usia mereka yang remaja, para siswa dapat mencapai tahap 4 dan lebih ideal dapat mencapai tahap 5, sebagaimana dikemukakan oleh Kohlberg (dalam Hurlock, 1980) dan Haditono (1984) bahwa moralitas pasca konvensional dicapai selama masa remaja.

C. Kesimpulan

1. Terdapat hubungan yang erat antara inteligensi dengan perkembangan moral reasoning remaja siswa SMU Negeri IV Medan (r =0,7945).

2. Sebesar 5,63% moral reasoning siswa berada pada tingkat pra-konvensional (tahap 2), 35,20% berada pada tingkat konvensional (tahap 3, 4), 25,48% berada pada tingkat post-conventional, dan sebesar 32,39% sedang berkembang.

 

Rujukan

Anastasi, A & S. Urbina. (1998). Tes Psikologi. Alih Bahasa oleh Robertus Hariono S. Imam. Psychological Testing. Jakarta: PT. Prenhallindo.

Arbuthnot, J.B. & D. Faust (1981). Teaching Moral Reasoning : Theory and Practice. New York : Harper and Row.

Chaplin, J.P. (1997). Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Grafindo.

Ginsburg, H. & S. Opper (1979). Piaget’s Theory of Intellectual Development, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs.

Haditono, S.R. dkk. (1984). Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa oleh Istiwidayanti, dkk. Developmental Psychology : A Life-Span Approach, 5th Ed. Jakarta: Erlangga.

Lickona, T. (1976). Moral Development and Behavior : Theory, Research, and Social Issues, New York: ___Holt, Rinehart & Winston, Inc.

Sudarsono (1993). Kamus Filsafat dan Psikologi. Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudjana (1996). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Watson, R. I. & H. C. Lindgren (1973). Psychology of The Child and The Adolescent, 4th Ed. New York: Macmillan Publishing Inc.

 

Link Jurnal Digital UISU :
nav-leftnav-leftnav-lefttijarahjulisaJurnal sosial ekonomiNur edukasiTausiah