Penulis:
Yayuk Purwaningrum
Yenni Asbur
vii; 85 hlm; 14.85 x 21 cm
ISBN:
Cetakan 1, Februari 2023
Harga: Rp 60,000
Di Indonesia luas areal perkebunan karet mencapai sekitar 3.2 juta hektar, dan 2.6 juta hektar di antaranya lahan milik petani atau sekitar 80% dari total perkebunan karet (Anwar, 2001). Tanaman karet di Indonesia selama kurun waktu 3 dekade mengalami pengembangan pertumbuhan yang sangat pesat. Pada tahun 1968, luas areal karet baru 2.2 juta ha dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 3.3 juta ha atau meningkat sekitar 50% dimana sekitar 85% diusahakan oleh rakyat dan selebihnya oleh perkebunan besar. Dari luasan tersebut, tingkat produktivitas tanaman karet rata-rata di Indonesia pada tahun 2007 baru mencapai 996 kg/ha/thn (Ditjen Perkebunan, 2007).
Tahun 2012 Indonesia memiliki perkebunan karet seluas 35.06 201 ha dengan produksi mencapai 3.012.254 ton dan produktivitas 1.073 kg karet kering/ha. Tahun 2013 menyebutkan bahwa pada volume ekspor karet alam Indonesia mencapai 2.590.200 ton dengan total nilai ekspor sebesar US$ 6.6 milyar. Indonesia berpotensi meningkatkan ekspor karet dengan merebut pasar di negara Tirai Bambu karena diperkirakan sampai tahun 2020 Cina akan terus mengalami pertumbuhan. Peningkatan konsumsi karet terutama disebabkan oleh tingginya permintaan dari negara-negara industri karet seperti Amerika, Uni Eropa, Jepang, Cina, India, Rusia, dan Brasilia. Peningkatan pertumbuhan ekonomi global dan kesejahteraan negara-negara di dunia, serta peningkatan harga minyak bumi dan karet sintetis memacu semakin meningkatnya konsumsi karet alam di pasar internasional. (Boerhendhy,2013).
Ekspor karet Indonesia masih dalam bentuk karet remah. Sekitar 85.96% produksi karet alam Indonesia diekspor ke mancanegara dan hanya sebagian kecil yang dikonsumsi dalam negeri. Pemenuhan kebutuhan karet dunia sebagian telah tergantikan oleh karet sintetik. Adanya karet sintetik tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran karet alam. Beberapa kelebihan karet alam yang tidak dapat dipenuhi oleh karet sintetik adalah elastisitas yang tinggi dan daya lenting sempurna, daya aus yang tinggi, tidak mudah panas dan tahan terhadap keretakan (Ditjenbun, 2014). Tahun 2014 nilai eksport karet mencapai US$ 4,7 milyar, tahun 2015 tercatat bahwa luas areal perkebunan karet di Indonesia telah mencapai 3,6 juta hektar dimana 85% adalah karet rakyat, 9% karet swasta dan 6% karet negara, dengan produktivitas pada tahun 2015 mencapai 1.036 ha/tahun masih tergolong rendah dibandingkan dengan Negara Thailand yang mencapai 1.600 ha/tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015)
Meskipun Indonesia memiliki wilayah cukup luas untuk tanaman karet, tetapi produktivitasnya masih berada di bawah Thailand. Tingkat produktivitas rata-rata tanaman karet Indonesia ini masih lebih rendah dibandingkan Thailand, yaitu 1675 kg/ha/thn (Bastari, 2008). Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia masih memerlukan usaha-usaha dalam peningkatan produksi. Rendahnya tingkat adopsi klon oleh masyarakat karet telah berlangsung sejak lama. Pee dan Khoo (1975) melaporkan bahwa setidaknya dibutuhkan waktu selama 10 tahun sampai sebuah klon dapat teradopsi hingga mengisi 90% dari total luas area di perkebunan besar (estate) Malaysia.
Di Indonesia, teknologi klon telah dikenalkan sejak lama, namun rekomendasi klon anjuran baru digulirkan awal tahun 1980an melalui Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet. Sementara itu, klon unggul seri IRR diperkenalkan pertama kali pada tahun 1995 sebagai klon harapan dan dilepas sebagai klon anjuran pada tahun 1998 (Pusat Penelitian Karet, 1995; 1998). Petani karet masih menggunakan bahan tanam asal biji atau klon palsu/asalan karena kurangnya pengetahuan dan kepercayaan terhadap klon-klon unggul yang telah beredar. Penyuluhan dan pendampingan perlu dioptimalkan kembali agar pemanfaatan klon-klon unggul dapat berjalan dengan baik. Selain itu kerjasama antar lembaga terkait (Puslit Karet, Dinas Perkebunan, Lembaga Penyuluh, dan lainnya) perlu dipererat agar adopsi klon dapat berlangsung dengan cepat dan optimal. Dengan upaya tersebut diharapkan akan berdampak pada perbaikan produktivitas perkebunan karet.
Rendahnya mutu penyadapan serta penerapan sistem eksploitasi tanaman di lapangan yang tidak sesuai dengan peraturan. Kenyataan seperti ini tidak hanya terjadi pada areal tanaman karet rakyat, tetapi juga di perkebunan-perkebunan besar milik swasta dan pemerintah. Rendahnya produktivitas terutama disebabkan oleh penerapan teknologi perkaretan dan pengelolaan kebun yang belum sesuai rekomendasi, terutama pada perkebunan karet rakyat (Boerhendhy dan Amypalupy, 2011).
Pada bagian I menguraikan Tipologi klonal dibagi dalam dua kelompok besar klon yaitu klon-klon quick starter dan klon-klon slow starter. Klon-klon quick starter (QS) adalah klon dengan metabolisme tinggi yang memiliki sifat antara lain kurang responsif terhadap pemberian stimulan, rentan terhadap kering alur sadap (KAS), dan kulit pulihan yang kurang potensial. Sedangkan klon slow starter (SS) adalah klon klon-klon metabolisme rendah sampai sedang yang memiliki ciri spesifik di antaranya responsif terhadap pemberian stimulan, relatif lebih tahan terhadap tekanan eksploitasi dan kulit pulihan umumnya tebal sehingga potensial untuk dimanfaatkan (Sumarmadji et al.,2011 ; Siregar et al, 2008).
Pada bagian II menguraikan Sistem eksploitasi merupakan rangkaian penyadapan yang diterapkan sepanjang waktu produksi (TM) tanaman karet umur (20 – 25 tahun). Keuntungan dan produksi yang dihasilkan sangat ditentukan oleh sistem eksplotasi. Oleh karenanya upaya dalam meningkatkan hasil dan keuntungan, penelitian sadap dan stimulan terus dilakukan untuk mencari sistem yang paling tepat dan memberikan hasil tinggi dengan efek negatif minimum terhadap tanaman (Sumarmadji, 2006). Faktor utama yang menentukan intensitas eksploitasi adalah panjang irisan, frekuensi sadap, dan aplikasi stimulan (Junaidi dan Kuswanhadi, 1998). Ketiga faktor ini saling interaksi terhadap klon, umur tanaman dan variasi musiman, sehingga setiap klon memiliki sistem eksploitasi yang berbeda (Sumarmadji et al., 2003). Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet, merupakan kegiatan pokok dari pengusahaan tanaman karet. Tujuannya adalah membuka pembuluh lateks pada kulit pohon agar lateks cepat mengalir dan
Bagian III menguraikan tentang Stimulan. Komponen campuran stimulan adalah minyak nabati (minyak sawit) dan minyak gemuk alami (carrier stimulant) serta hormon (2.4 D). Bahan aktif untuk stimulan cair adalah etefon (2-Chloro ethyl phosponic acid (), seperti ethrel, floteks, katrol dan guela. Digunakan pada tanaman yang telah dewasa (tetapi pada akhir-akhir ini juga pada tanaman taruna) yang bertujuan untuk mendapatkan tambahan keuntungan pengusaha perkebunan dengan kenaikan hasil yang diperoleh (Setyamidjaja, 1993). Aplikasi stimulan memerlukan pengawasan yang lebih intensif. Resiko dari aplikasi yang tidak benar adalah mengeringnya alur sadap dan kondisi yang paling merugikan, seluruh kulit cadangan mengalami kekeringan, sehingga untuk menghindari hal tersebut perlu diketahui konsentrasi optimal dari stimulan yang digunakan (Heru dan Andoko, 2008). Penggunaan stimulan dalam jangka panjang untuk merangsang keluarnya lateks diduga menjadi salah satu penyebab penurunan produksi lateks di Perkebunan Karet. Pada kondisi yang paling merugikan, seluruh kulit cadangan mengalami kekeringan. Untuk itu dianjurkan agar selalu mengamati apa yang disebut dengan Brown Bast. Gejala yang dapat dilihat adalah berubahnya sebagian warna alur sadap menjadi cokelat kehitaman dan tidak mengalirkan lateks lagi (Siregar, 2001). Pada bagian IV menguraikan beberapa system eksploitasi yang digunakan untuk penyadapan pada tanaman karet agar tanaman sustainable yang telah dilaporkan beberapa peneliti. Bagian V merupakan penutup dari uraian buku ini. Buku ini diharapkan bermanfaat sebagai rujukan mahasiswa dan pengguna yang memerlukan.
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Komentar Anda