nav-left cat-right
cat-right

MERUMUSKAN PROFIL KONSELOR STANDAR (Abdul Murad, Dosen Kopertis Wilayah I dpk. UISU Medan)

MERUMUSKAN

PROFIL KONSELOR STANDAR

                                                                                                                                         

Oleh

 Abdul Murad

Dosen Kopertis Wilayah I dpk. Pada UISU Medan

 

Abstract

 

              This study was done to examine the counselor’s profile formulation in the international standardized school through varied experts’s idea presentation in guidance counseling. In this context, the writer is trying to share the profiles or competence that should be overcome by a counselor either in school or out of school.

 

              Key words: counselor, professional, standard, school.


1. Pendahuluan

Pentingnya permasalahan konselor standar ini dapat dilihat dari adanya kebutuhan makro dan mikro dalam profesi bimbingan dan konseling di Indonesia. Jika dilihat dari kebutuhan makro, permasalahan ini berkaitan dengan kebutuhan untuk meningkatkan kredibilitas profesionalisme konselor dalam berbagai setting. Profesi konselor Indonesia, sampai saat ini dominan bergerak dalam pekerjaan konselor sekolah dan hanya sebagian kecil bergerak dalam setting lain seperti di departeman pemerintahan, perkawinan, dan yang lainnya. Sesungguhnya konselor sekolah dapat mengembangkan keahliannya pada setting di luar sekolah/pendidikan. Dominan kerja pada bidang pendidikan/sekolah ini membuat konselor sekolah banyak dievaluasi oleh lingkungan kerja dan masyarakat.

Dewasa ini para ahli dan praktisi konseling di Indonesia sedang gencar-gencarnya mencari upaya strategis   peningkatan profesionalisme konselor, khususnya konselor sekolah. Tuntutan ini dilatarbelakangi oleh beberapa keadaan dan suara sumbang di lapangan. Laporan penelitian yang diselenggarakan oleh Mugiarso dan Tajri (1989), Darminto dan Worung (1994), Nursalim, Suradi, dan Worung (1995) mengkonfirmasikan keadaan tersebut. Demikian pula beberapa kekurangpuasan yang disampaikan oleh beberapa ahli konseling, misalnya Sayekti (1991) dan Munandir (1997) pada hakikatnya menyatakan rendahnya unjuk kerja profesional para konselor sekolah. … guru bimbingan sedang tidur (Pelita, 9-11-1991), serta berbagai ungkapan lain seperti petugas bimbingan sekolah adalah petugas administrasi, pelaksana koperasi sekolah, pengawas keamanan sekolah, pelaksana absensi sekolah, dan keranjang masalah (Tohari Musnamar, 1991 : 5).

Beberapa media massa cetak dan elektronik juga memberitakan bahwa berbagai masalah dan kasus pada usia sekolah di sekolah maupun di masyarakat semakin berkembang, baik frekuensi maupun keragamannya.

Sesuai dengan undang-undang nomor 2 tahun 1989 nomor : 29/1990 dimana posisi bimbingan konseling secara formal eksplisit sebagai mitra kerja bidang pengajaran agar anak dapat berkembang menjadi individu yang matang dapat menyelesaikan studinya dengan proses lancar dan hasil yang maksimal, maka persoalan nonakademis di atas, di sekolah, merupakan tanggung jawab utama konselor. Namun persoalannya, harapan tersebut belum dapat terwujud dengan optimal.

Penilaian kurang positif masyarakat terhadap konselor sekolah dan makin meluasnya perilaku tidak diharapkan dari siswa di masyarakat, bukan semata-mata disebabkan oleh kekurangmampuan sekolah dalam mendidik anak, sistem pendidikan yang buruk, atau konselor yang tidak profesional. Permasalahan ini harus dilihat dalam skala global dan sistem jaringan yang mempengaruhinya. Pandangan ini penting agar konselor sekolah tidak dijadikan tumpuan kelemahan. Meskipun demikian, peningkatan profesionalisme konselor sekolah merupakan langkah penting untuk mencari solusi masalah, terutama dari segi tanggung jawabnya.

Konselor dikatakan profesional atau belum profesional harus mengacu kepada suatu kriteria standar yang ditegakkan berdasarkan tuntutan ilmu, kebutuhan masyarakat, dan tingkatan (jenjang) konselor itu sendiri. Misalnya, Sanusi dkk. (1991) secara tentatif mengidentifikasi perilaku-perilaku profesional dan non-profesional pada konselor yang berkenaan dengan pengetahuan, kepribadian, pengalaman, keahlian, dan kemauan. Dalam hal pengetahuan, konselor yang kurang profesional tidak dibekali penguasaan yang cukup tentang prinsip-prinsip keilmuan yang menunjang konseling, sedangkan konselor profesional memiliki penguasaan yang cukup tentang prinsip-prinsip keilmuan yang menunjang konseling. Dalam hal kepribadian, konselor yang tidak profesional menunjukkan sikap kasar, berprasangka, tertutup, kaku, diskriminatif, berpikir negatif, pesimistik, tidak percaya diri, dan tidak dapat diandalkan; sedangkan konselor profesional menampilkan dalam kinerjanya sikap jujur, hangat, tidak berprasangka, transparan, menghargai tiap orang, berpikir positip, optimistik, percaya diri, ramah, dapat dipercaya dan diandalkan, mempunyai judgment pribadi dalam mengambil keputusan. Dalam hal pengalaman, konselor yang tidak profesional tidak memiliki pengalaman secara sistematis, melakukan konseling hanya sebagai pekerjaan rutin tanpa improvisasi karena dianggap hanya instruktif; sebaliknya konselor profesional memiliki pengalaman dalam melakukan konseling secara benar di bawah pengawasan ahli, selalu belajar dari pengalamannya untuk meningkatkan diri. Dalam hal keahlian, konselor yang kurang profesional memiliki keterampilan terbatas dalam merespons klien, konseling hanya diperlakukan sebagai teknik yang kering dan kaku; sebaliknya konselor profesional mempunyai repertoire respons dalam menghadapi klien dengan berbagai karakteristik, konseling bukan hanya sebagai teknik, melainkan kiat. Dalam hal kemauan, konselor yang tidak profesional kurang memiliki kemauan untuk meningkatkan diri, puas dengan apa yang telah dimilikinya saat ini, monoton dan menjemukan; sebaliknya konselor profesional memiliki kemauan untuk meningkatkan diri dalam rangka meningkatkan mutu layanannya, kreatif, dan inovatif.

Berdasarkan profil konselor standar ini, konselor dituntut untuk memenuhinya dan pada giliran selanjutnya ia dinilai apakah mampu memerankan dirinya sebagai konselor profesional yang terstandar atau tidak. Rumusan ini secara jelas belum komprehensif di Indonesia, yang ada hanya berupa program kerja konselor dan ini tidak cukup sebagai tolok ukur. Dengan demikian, krusial sekali untuk merumuskan “profil konselor profesional yang standar” (nasional) menuju “profil konselor berstandar internasional”. Ini bukan sesuatu khayal (mission impossible), melainkan bagian dari upaya yang baik. Penulis tidak merumuskan sendiri profil tersebut, melainkan mengemukakan beberapa pendapat ahli, dan ini akan menjadi dasar bagi perumusan selanjutnya.

2.  Pembahasan

2.1  Dimensi Konselor Standar

Konselor standar dapat dibedakan atas tingkatan (jenjangnya), apakah konselor muda (pemula), konselor madya, atau konselor yang dipandang mapan. Pembedaan ini harus pula dirumuskan, apakah penentuannya berdasarkan jenjang dan jenis pendidikan, pengalaman kerja, atau berdasarkan keduanya dan mungkin ada faktor lain yang perlu dilibatkan, misalnya tahun tamat yang mengandung arti beda kurikulum. Dimensi lain, apakah sebutan “konselor” sama dengan seorang tamatan sarjana strata satu jurusan Bimbingan Konseling, atau sarjana strata satu ditambah dengan sertifikasi konselor sebanyak X sks, atau konselor adalah sebutan untuk jalur pendidikan profesional – praktisi pada tingkat pendidikan pascasarjana strata dua, setelah seseorang menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu jurusan Bimbingan Konseling (tidak boleh dari jurusan non Bimbingan Konseling). Jurusan/fakultas Psikologi perlu dipertimbangkan. Di sisi lain, ada jalur pendidikan jurusan Bimbingan Konseling tingkat sarjana strata satu sampai dengan tingkat pascasarjana strata tiga, berperan sebagai peneliti, akademik, bila ia tidak menempuh jalur konselor – praktisi. Apakah jalur pendidikan konselor (sarjana bernilai tambah atau pascasarjana jalur profesional – praktisi) dibedakan berdasarkan ruang lingkup bidang (seperti konselor perkawinan dan rumah tangga, konselor agama, konselor pendidikan, konselor industri dan organisasi) atau dalam satu kurikulum yang sama. Apakah profil konselor standar yang hendak dirumuskan, standar dalam skala lokal, nasional, atau internasional.

Dimensi-dimensi ini untuk dipertimbangkan dalam merumuskan profil konselor standar.

 

       2.2 Profil Konselor Standar

Perumusan profil konselor standar berikut ini tidak terfokus pada konselor bidang tertentu saja, melainkan bersifat umum.

Konselor profesional menuntut seperangkat kompetensi dalam berbagai dimensi bimbingan konseling, antara lain konseling individual dan konseling kelompok, konseling perkembangan karir, penilaian dan testing, keterampilan-keterampilan klinis, dan bidang-bidang baru seperti pokok-pokok pikiran budaya dan sosial, etika-etika  profesional, supervisi, dan manajemen dan pengembangan program bimbingan dan konseling. Angels & Dameron (1990: 2-151) menawarkan 9 karakteristik kompetensi konselor profesional, profil kompetensi ini merentang pada tingkat kompetensi yang rendah, rata-rata rendah, rata-rata, di atas rata-rata, dan tinggi. Karakteristik konselor profesional tersebut adalah : (1) karakteristik-karakteristik kepribadian konselor profesional; (2) kompetensi-kompetensi konseling bagi populasi-populasi dan lingkungan-lingkungan khusus, yaitu konseling adiksi, konseling anak dan remaja, konseling masyarakat dan kesehatan mental, konseling kelompok, konseling pendidikan tinggi, konseling individual, konseling perkawinan/keluarga/, konseling populasi khusus dan multikultural, konseling sekolah; (3) kompetensi-kompetensi administrasi, pengembangan, dan perencanaan program; (4) kompetensi-kompetensi perkembangan karir dan gaya hidup; (5) kompetensi-kompetensi penilaian; (6) kompetensi-kompetensi referal, penyimpanan data, dan diagnosis; (7) kompetensi-kompetensi supervisi konselor; (8) kompetensi-kompetensi konsultasi; (9) kompetensi-kompetensi evaluasi dan riset. Publikasi ini tepatnya dinyatakan suatu manual, yang seyogianya bermanfaat bagi pendidik konselor, para konselor, dan profesional lain yang menginginkan suatu potret tentang pengetahuan, keterampilan-keterampilan, dan karakteristik-karakteristik yang menggambarkan seorang konselor profesional di tahun 1990-an. Ada dua hal yang perlu diingat dari manual di atas, yaitu pertama, kemampuan-kemampuan yang diungkap dalam karakteristik konselor ini tidaklah mendalam meliput seluruh kompetensi yang dibutuhkan dan dituntut oleh para konselor profesional. Pendekatan ini mengkhususkan pada kompetensi-kompetensi utama dan pedoman kinerja sehingga masih diperlukan tambahan-tambahan kompetensi yang lain melalui berbagai sumber yang melengkapi. Kedua, tak seorang pun dalam masyarakat informasi dewasa ini mampu mengetahui segala yang bernilai dalam suatu bidang profesional, artinya tidak ada konselor profesional mampu sepenuhnya kompeten dalam kesembilan bidang yang dikemukakan di atas. Akan tetapi setidaknya ini dapat membantu memberi kriteria bagi konselor dan profesi yang lain untuk mendefinisikan secara operasional konseling profesional sesuai dengan kompetensi-kompetensi yang dituntut.

Studi yang dilakukan oleh Mochammad Hatip (1989) tentang profil Konselor SMA menunjukkan 19 karakteristik yang diharapkan dimiliki konselor SMA, yakni: (1) kepribadian konselor; (2) kemampuan intelektual; (3) kemampuan mengadakan empatik; (4) menarik; (5) berpandangan positip; (6) memperlihatkan kapasitas untuk menjalin hubungan; (7) bersikap profesional; (8) memiliki wawasan bimbingan; (9) memahami kepribadian manusia; (10) menguasai teori dan praktek; (11) menguasai teknik pemahaman individu; (12) kemampuan untuk memasyarakatkan bimbingan; (13) kemampuan mengadministrasikan program bimbingan; (14) kemampuan mengelola berbagai layanan; (15) menguasai penyelenggaraan bimbingan karir; (16) mampu menyelenggarakan konsultasi dengan berbagai pihak; (17) menguasai metodologi penelitian; (18) menguasai proses belajar mengajar; (19) mampu bekerja sama dengan personil lain. Seiring dengan ini, Chiko et al (1980) juga mengembangkan model kompetensi konselor yang terdiri atas tiga komponen berikut ini: isi, fungsi, dan karakteristik pribadi. Komponen isi mencakup aspek pengetahuan yang seharusnya dikuasai oleh konselor misalnya pengetahuan tentang testing, riset, tingkah laku manusia, strategi intervensi dan sebagainya; komponen fungsi mencakup keterampilan-keterampilan yang diharapkan dikuasai oleh konselor misalnya keterampilan mengadministrasikan, keterampilan melaksanakan konseling, menggunakan instrumen, keterampilan melakukan penelitian, mensupervisi dan sebagainya; komponen   karakteristik pribadi meliputi kematangan emosional, etika, inteligensi, dan toleransi.

Studi yang dilakukan Furqon (2001) ditemukan bahwa konselor sekurang-kurangnya perlu memiliki tiga kompetensi, di samping perlu dukungan kondisi yang kontekstual dan lingkungan (environmental), yaitu kompetensi pribadi (personal competencies), kompetensi inti (core competencies), dan kompetensi pendukung (supporting competencies). Kompetensi pribadi merujuk pada kualitas pribadi konselor yang berkenaan dengan kemampuan untuk membangun rapport (hubungan baik antarpribadi) secara sehat, etos kerja dan komitmen profesional, landasan etik dan moral dalam berperilaku, dorongan dan semangat untuk mengembangkan diri, serta yang berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan problem solving. Kompetensi inti adalah sebagai kemampuan langsung untuk mengelola dan menyelenggarakan pelayanan bimbingan mulai dengan penguasaan landasan-landasan konsep dan teori bimbingan, kemampuan menyelenggarakan bermacam-macam layanan bimbingan, sampai dengan kemampuan yang berkaitan dengan manajerial bimbingan. Dan kompetensi pendukung dipandang sebagai kemampuan-kemampuan tambahan yang dianggap akan memperkuat atau memperkokoh daya adaptabilitas konselor, yakni kemampuan kewirausahaan (kemampuan untuk menggagas ide dan karya baru serta kemampuan untuk “menjualnya”), dasar-dasar komputer, dan kemampuan berbahasa Inggris. Berdasarkan tiga kompetensi dasar yang dikemukakannya di atas, dikembangkan menjadi 9 aspek kinerja profesional berikut: (1) hubungan antarpribadi; (2) etos kerja dan komitmen profesional; (3) etika dan moral dalam berprilaku; (4) dorongan dan upaya pengembangan diri; (5) kemampuan pemecahan masalah dan penyesuaian diri; (6) upaya pemberian bantuan kepada siswa; (7) manajemen bimbingan dan konseling di sekolah; (8) instrumentasi bimbingan; (9) penyelenggaraan layanan bimbingan.

Dalam sistem sekolah, konselor profesional dapat ditunjukkan melalui kesuksesan program bimbingan konselingnya. Program bimbingan di sekolah dapat dijadikan ukuran/penilaian kinerja konselor profesional. Seberapa baik konselor sekolah memenuhi standar-standar konselor sekolah baik yang berhubungan dengan program bimbingan maupun kompetensi-kompetensi lain mau tidak mau menunjukkan tingkat profesionalisme konselor itu sendiri. Ada standar dasar praktek konselor sekolah yang digunakan untuk penilaian, juga digunakan untuk penilaian diri dalam rangka rencana pengembangan profesionalnya. Judy dan Patricia (2002: 59-61) mengemukakan 12 standar konselor sekolah berikut ini:

 

Standar 1:      Merencanakan, mengorganisir dan   menyampaikan program konseling sekolah.

Standar 2:      Konselor sekolah profesional mengimplementasikan kurikulum bimbingan sekolah melalui penggunaan perencanaan cermat dan keterampilan-keterampilan pengajaran yang efektif sesi-sesi kelompok terstruktur bagi semua siswa.

Standar 3:      Konselor sekolah profesional mengimplementasikan komponen perencanaan individu dengan membimbing individu-individu dan kelompok siswa dan orang tua mereka dan pengasuh-pengasuh melalui pengembangan rencana pendidikan dan karir.

Standar 4:      Konselor sekolah profesional memberikan layanan-layanan responsif melalui penerapan konseling kelompok kecil dan individual yang efektif, keterampilan-keterampilan referal dan konsultasi.

Standar 5:      Konselor sekolah profesional memberi dukungan system melalui pengelolaan program konseling sekolah yang efektif dan dukungan bagi program pendidikan lainnya.

Standar 6:      Konselor sekolah profesional mendiskusikan rencana tindakan program dan sistem manajemen departemen konseling dengan kepala sekolah.

Standar 7 :     Konselor sekolah profesional bertanggung jawab untuk mendirikan dan menjalankan lembaga penasehat bagi program konseling sekolah.

Standar 8:      Konselor sekolah profesional mengumpulkan dan menganalisis data mengarahkan titik berat dan arah program.

Standar 9:      Konselor sekolah profesional memonitor para siswa secara teratur sebagaimana para siswa itu mencapai kemajuan di sekolah.

Standar 10:    Konselor sekolah profesional menggunakan waktu dan kalender untuk mengimplementasikan suatu program yang efisien.

Standar 11:    Konselor sekolah profesional mengembangkan suatu evaluasi hasil bagi program itu.

Standar 12:    Konselor sekolah profesional menyelenggarakan suatu audit program tahunan.

 

Sesungguhnya, 12 standar konselor sekolah profesional di atas menekankan pentingnya profesionalisme konselor itu ditampilkan dalam bentuk kemampuan merencanakan, melaksanakan dan akhirnya memiliki program bimbingan yang sukses dalam merespon permasalahan, kebutuhan para siswa di sekolah.

Sekaitan dengan pengendalian dan pedoman kinerja konselor dalam memberikan layanannya, ASCA (American School Counselor Association) juga merumuskan beberapa tanggung jawab konselor sekolah, yaitu (1) tanggung jawab pada para siswa; (2) tanggung jawab kepada para orang tua; (3) tanggung jawab pada teman-teman kolega dan profesional; (4) tanggung jawab pada sekolah dan masyarakat; (5) tanggung jawab pada diri sendiri; (6) tanggung jawab pada profesi, dan (7) mempertahankan standar. Meskipun masing-masing tanggung jawab ini masih dapat lagi lebih diperinci berupa kompetensi-kompetensi yang seyogianya ditunjukkan konselor di sekolah secara implementatif.

Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa profil konselor standar setidak-tidaknya memiliki tiga kompetensi, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi inti, dan kompetensi pendukung. Kompetensi pribadi dan kompetensi pendukung hendaknya mendasari munculnya kompetensi inti yang langsung teramati tentang berhasil atau tidaknya konselor menampilkan kinerja profesionalnya di sekolah. Penulis mempertegas bahwa kompetensi pendukung diperlukan untuk menunjukkan daya adaptabilitas konselor terhadap populasi atau lingkungan permasalahan yang spesifik dan aktual, seperti kompetensi melaksanakan konseling adiksi, konseling anak dan remaja, konseling kesehatan mental masyarakat, konseling perkawinan/keluarga, konseling multikultural, dan sejenisnya. Pendapat ahli maupun hasil-hasil studi yang terkait dengan profil konselor standard ini ternyata sangat beragam dalam fokus/kedalamannya maupun keluasan kriteria yang digarapnya. Tetapi setidak-tidaknya tiga kompetensi yang penulis simpulkan tersebut telah cukup representatif untuk menilai profil konselor standar.

 

1. Karakteristik kepribadian konselor

a. Bertanggung jawab pada kesejahteraan orang lain:

1) Mengesampingkan urusan pribadi selama sesi konseling agar terfokus pada kepedulian klien.

2) Menyampaikan minat yang tulus secara verbal dan nonverbal dan peduli pada klien.

3)       Membahasakan komitmen utama untuk membantu klien berbuat sesuai minatnya.

b. Sensitif/peka pada orang lain:

1)       Terpengaruh atau tergugah dengan pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan klien.

2)       Menunjukkan kesadaran yang luas terhadap perasaan, pikiran, nilai-nilai dan sikap klien.

3)       Mengidentifikasi harapan klien, supervisor, dan klien.

  1. Empatik:

1)       Menyampaikan pemahaman terhadap tiap-tiap dunia klien sebagaimana dipersepsi oleh klien.

2)       Merumuskan respon verbal yang merefleksikan isi dan perasaan tentang pesan verbal dan nonverbal secara akurat dan tepat.

3)       Menghindarkan kritik yang samar-samar dan destruktif dan permusuhan pasif dalam berinteraksi dengan klien.

  1. Menghormati individualitas:

1)       Mengenal dan menunjukkan penerimaan adanya perbedaan antara gagasan dan pengalaman subjektif klien dan konselor.

2)       Tetap objektif melihat pendapat klien, praktek-praktek, nilai-nilai, dan reaksi emosional yang berbeda dan reaksi-reaksi konselor.

3)       Menghindarkan terpecahnya nilai-nilai pribadi terhadap klien.

4)       Memperlihatkan ketiadaan sikap prasangka dan berpikir stereotip yang masuk akal.

5)       Mengkonseling klien-klien baik jender-jender maupun berbagai kelompok ras, budaya, dan sosial ekonomi.

  1. Percaya terhadap potensi orang yang positip:

1)       Menyampaikan persepsi tentang klien secara verbal dan nonverbal sebagai suatu yang berharga dan bertanggung jawab.

2)       Menyampaikan harapan; menjelaskan keyakinan terhadap kapasitas klien untuk menyelesaikan masalah, mengelola pertumbuhan dan kehidupan mereka.

  1. Kesadaran diri dan penerimaan diri:

1)       Mengekspresikan pemahaman yang jelas tentang kebutuhan-kebutuhan pribadi, nilai-nilai, kekuatan-kekuatan, kelemahan-kelemahan, perasaan-perasaan, dan motivasi-motivasi yang berkenaan dengan efektivitas sebagai seorang konselor.

2)       Mengalami diri sebagai seorang yang berharga, bermartabat dan berkecukupan.

3)       Mengenal dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi dengan tepat: yang berhubungan dengan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

4)       Mengidentifikasi harapan-harapan diri.

  1. Mengkonsep tingkah laku manusia dan proses perubahan secara sistematis.

1)       Mewawancara klien-klien menggunakan metode penemuan langsung dan tidak langsung, berentang dari percakapan biasa hingga penilaian diagnostik yang terstruktur.

2)       Menerapkan konstruk-konstruk teori untuk menentukan arti dari masalah-masalah manusia spesifik.

3)       Menggunakan pengetahuan tentang tingkah laku manusia dan teori konseling untuk menjabarkan tujuan konseling yang tepat dan modalitas treatmen.

4)       Memodifikasi intervensi-intervensi spesifik atas dasar efektivitas.

  1. Memfasilitasi perkembangan pribadi orang lain:

1)       Mengenal tingkat tanggung jawab klien dan konselor bagi proses konseling dan bertindak atas dasar pengenalan itu.

2)       Memperbolehkan klien untuk menggiatkan leading yang tepat selama sesi konseling.

3)       Memfasilitasi ekspresi klien dan eksplorasi klien.

4)       Mengeksplorasi bersama-sama klien ketimbang untuk klien.

5)       Mengkomunikasikan keyakinan terhadap kemampuan klien berpikir, merasa atau bertindak berbeda daripada yang mereka miliki di waktu lalu.

6)       Merespon bahan penting dengan tepat dan segera seiring dengan berkembangnya bahan itu dalam sesi konseling.

7)       Menunjukkan bagaimana klien telah dibatasi dari dan membatasi diri sendiri pada waktu yang lalu, dan memberikan alternatif yang mungkin bagi masa kini dan mendatang.

8)       Mendorong klien secara verbal dan nonverbal untuk memilih perilaku yang konstruktif dan melemahkan klien untuk memilih perilaku yang destruktif.

9)       Mendukung upaya klien untuk menangani dan mengubah, dan mengkonfrontir kesenjangan-kesenjangan klien, sesuai dan proporsional dengan masing-masing klien secara individual.

10)   Mengidentifikasi meningkatnya perubahan-perubahan kecil dan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan pola dan tema dalam proses konseling.

  1. Memiliki toleransi yang tinggi terhadap frustrasi dan stress:

1)       Memelihara ketenangan hati selama masa stress dan tak menyenangkan, ketenangan konselor dan klien.

2)       Memperlihatkan ketenangan dan ketekunan di wajah.

3)       Menunjukkan kesabaran terhadap wajah klien yang berubah ketimbang bersikap terburu-buru atau memaksa perubahan.

  1. Menghormati kebebasan memilih:

1)       Menggunakan proses konseling untuk memperkaya kebebasan klien daripada pengontrolan.

2)       Menyampaikan kebebasan pada klien secara verbal dan nobverbal untuk memelihara nilai-nilai berguna, tetapi menunjukkan ketidaksenangan terhadap tingkah laku atau pikiran yang negatip.

  1. Berkomunikasi dengan efektif:

1)       Berkomunikasi dengan menggunakan istilah yang konkrit, spesifik daripada abstrak dan umum.

2)       Berkomunikasi dalam suatu gaya yang sesuai dengan gaya komunikasi dan tahap perkembangan klien.

3)       Menyampaikan rentang luas pengalaman-pengalaman afektif dengan terbuka, dari betul-betul marah menjadi perhatian dan kelembutan yang spontan.

4)       Menyampaikan gagasan-gagasan dan konsep-konsep dengan jelas relevan dengan proses konseling.

5)       Menunjukkan kesesuaian antara tingkah laku verbal dan nonverbal.

6) Menyusun waktu, membentuk komunikasi dalam cara yang memajukan tujuan-tujuan terapeutik.

  1. Menjadi kreatif:

1)       Menggunakan dan atau menciptakan intervensi-intervensi dengan spontan, konsisten dengan teori pengarahan konselor, yang memfasilitasi eksplorasi dan atau pertumbuhan klien.

2)       Menggunakan khayalan-khayalan, gambaran-gambaran untuk memperkaya proses terapeutik.

3)       Mengambil resiko-resiko yang tepat.

  1. Memiliki rasa humor:

1)       Menertawai diri pada saat yang tepat.

2)       Tertawa bersama klien dengan tepat di luar apresiasi terhadap apa yang sedang dialami klien.

3)       Memanfaatkan suatu pendekatan yang humoris pada saat yang tepat.

  1. Memelihara objektivitas:

1)       Menghindarkan diri untuk terlibat secara berlebihan dalam masalah klien atau orang lain.

2)       Tetap terbuka untuk memfasilitasi respon-respon klien yang amat afektif, termasuk respon-respon yang ditujukan pada konselor.

  1. Melatih disiplin diri:

1)       Mengelola aset pribadi dengan efektif (misalnya: pengetahuan, keterampilan, tenaga, waktu).

2)       Berinteraksi dengan orang lain dengan cara asertif yang membuktikan saling menghormati, pengendalian emosi, dan kesadaran emosi.

3)       Bekerja sebagai anggota tim yang bekerja sama dengan kolega-kolega paraprofesional dan profesional.

  1. Bertanggung jawab pada pertumbuhan profesional:

1)       Mempertahankan keanggotaan aktif dalam organisasi profesi (misal: Abkin dan organisasi lain yang sesuai dengan spesialisasi).

2)       Menerima dan menggunakan umpan balik dengan tepat, baik umpan balik yang positip maupun negatip dari klien, supervisor, dan teman sebaya profesional.

3)       Memberi umpan balik yang tepat baik positip maupun negatip terhadap teman sebaya dan supervisor.

4)       Menerapkan kesadaran terhadap kecenderungan ekonomi, legal, sosial, belakangan ini dalam proses konseling.

5)       Meneruskan pendidikan yang berkelanjutan terhadap pemenuhan kebutuhan klien dengan lebih baik (misal: menghadiri workshop, dan konvensi profesional, memperbaharui terus literatur profesional, secara berkala mencari supervisi berkelanjutan).

6)       Menilai kembali keyakinan yang ada dalam informasi baru.

  1. Mengenal dan merespon dengan tepat terhadap keterbatasan dan kemampuan profesional dan pribadi:

1)       Mengkhususkan kualifikasi profesional dan personal dan hanya memberi layanan-layanan itu bagi konselor yang dikualifikasikan.

2)       Menyampaikan pada klien hakikat hubungan konseling agar klien memahami keterbatasan-keterbatasan layanan yang diberikan.

3)       Merumuskan pernyataan personal tertulis dan lisan dan keterbatasan peran yang konsisten dengan seting, tingkat perkembangan pribadi dan latihan profesional, dan pendapat-pendapat yang disepakati tentang profesional-profesional lain yang dikualifikasikan.

4)       Menyampaikan bahwa klien akan dibantu dalam menemukan sumber bantuan yang tepat ketika keterbatasan lembaga dan pribadi meluas.

5)       Merujuk klien bila perlu, didasarkan pada kesadaran akan keahlian, keterampilan, dan layanan-layanan personil lain yang membantu dalam masyarakat.

6)       Menyatakan keterbatasan, kesalahan, dan salah persepsi konselor demikian pula potensi, keberhasilan, dan pemahaman-pemahaman yang tajam.

7)       Merespon dengan tepat ketika kepedulian pribadi menghalangi layanan pada klien (mencari konseling, menanggapi layanan yang tidak berlangsung secara berkala pada klien, dan atau menggunakan pengukuran lain yang tepat.

  1. Komit dan memegang etika profesional:

1)       Mengutamakan pengetahuan tentang standar-standar etik organisasi profesional dan badan-badan perijinan.

2)       Menguji etika pribadi untuk mengatasi konflik dengan standar etik profesional.

3)       Berprilaku sesuai dengan standar etik profesional.

4)       Mendidik teman sekerja, kepala sekolah, dan klien-klien menanggapi standar etik konselor profesional.

5)       Akrab dan menghormati standar etik teman sekerja yang menjalani profesi lain selain konseling.

2. Kompetensi-kompetensi konseling

 

3. Penutup

Untuk mampu mengantisipasi international competition dan international link, serta tuntutan profesi, konselor profesional adalah suatu keharusan untuk segera diwujudkan. Perwujudan tampilan profesionalisme konselor ini diwarnai oleh berbagai faktor determinan, yang dalam makalah ini dititikberatkan pada kompetensi profesional yang seyogianya dimiliki dan diwujudkan dalam kinerja nyata konselor di sekolah. Perwujudan kompetensi konselor di sekolah tidak berarti menganggap kurang penting konselor di pendidikan luar sekolah, melainkan saling menyempurnakan kompetensi konselor umumnya.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

ASCA (1979). The Role of Secondary School Counselor. The School Counselor, 24, 228-234.

Blocher, D.H. (1987). The Professional Counselor. New York: McMillan Publishing Company.

Chiko, C.H. et al (1980). A Model to Systematize Competencies in Counselor Education. Counselor Education and Supervision. 19. 283-291.

Dahlan, M.D. (1988). Posisi Bimbingan dan Penyuluhan Pendidikan dalam Kerangka Ilmu Pendidikan. Bandung: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Pendidikan pada FIP IKIP Bandung, Tanggal 9 April 1988.

Dennis, W.E. & Joseph, D.D. (1990). The Professional Counselor: Competencies, Performance Guidelines and Assesment. Texas: American Association for Counseling and Development.

Furqon, dkk. (2001). Peningkatan Kinerja Profesional Guru pembimbing melalui Penelitian Tindakan Kolaboratif Guru-Dosen: Pengembangan model penelitian Tindakan kolaboratif sebagai alternatif peningkatan kinerja profesional guru pembimbing di SMU Kota dan Kabupaten Bandung. Bandung: FIP UPI.

Hatip, M. (1989). Profil Konselor Sekolah Menengah Atas. Tesis, Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung.

Judi, L.B. & Patricia, A.H. (2002). The National Model for School Counseling Programs. Alexandria, VA 22134 (703) 683. ASCA www.schoolcounselor.org.

Kartadinata, S. (1996). Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis sebagai suatu Alternatif. Bandung: Depdikbud IKIP Bandung.

 

Link Jurnal Digital UISU :
nav-left nav-left nav-left tijarah julisa Jurnal sosial ekonomi Nur edukasi Tausiah